Simalakama Kepala Daerah: Setia ke Partai atau Negara?

Opini - Rabu, 26 Februari 2025

250226170313-simal.jpg

     Oleh:

          Karyudi Sutajah Putra 

           Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

"My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins," kata John F Kennedy, Presiden Amerika Serikat (1961-1963).

Artinya, "Loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada negara dimulai."

Ah, seandainya para kepala daerah terpilih dalam Pilkada 2024 yang baru saja dilantik Presiden Prabowo Subianto, Kamis (20/2/2025) lalu berprinsip seperti Kennedy, tentu tak perlu ada polemik soal ketidakhadiran sebagian dari mereka dalam Retreat Kepala Daerah 2025 di Akademi Militer, Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, 21-28 Februari 2025.

Dalam acara itu, ada sebagian kepala daerah dari PDI Perjuangan yang tak hadir.

Ada dua alasan mereka tidak hadir. Pertama, acara retreat tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, karena dilarang oleh ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri kendati ada juga yang tetap nekat hadir tanpa mengindahkan instruksi ketua umumnya itu.

Instruksi itu termuat dalam surat resmi PDIP bernomor 7294/IN/DPP/II/2025 yang ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pada Kamis, 20 Februari 2025, beberapa jam setelah Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ditahan Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dugaan suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku.

Belakangan, hal itu "diralat". Partai bukannya melarang, melainkan minta ditunda. Akhirnya sebagian besar kepala daerah dari PDIP menyusul ikut retreat, termasuk Gubernur Jakarta Pramono Anung Wibowo.

Bagi yang tetap hadir, berarti mereka mengimplementasikan adagium Kennedy tersebut, yakni lebih memilih setia kepada negara daripada setia kepada partai politik, meskipun mungkin masih sebatas pada acara retreat tersebut. Selebihnya, mereka mungkin tetap setia kepada partai politiknya.

Memang, bagi kepala daerah, khususnya dari PDIP, acara retreat tersebut lebih menyerupai buah Simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Maju kena mundur pun kena. Mengapa?

Sesuai Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, calon kepala daerah diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, atau dari jalur independen/perseorangan.

Bagi kepala daerah terpilih yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol, mereka harus taat pada parpol atau gabungan parpol pengusung. Jika tidak, mereka bisa bermasalah.

Ya, tanpa parpol, mereka tak akan bisa maju sebagai calon kepala daerah. Tanpa parpol, mereka bukan siapa-siapa. Kecuali yang memilih maju lewat jalur independen.

Parpol memang tidak bisa memecat calonnya dari jabatan kepala daerah secara langsung. Namun parpol bisa memecat kepala daerah tersebut dari statusnya sebagai anggota parpol.

Bila sudah dipecat dari keanggotaan parpol, maka fraksi parpol tersebut di DPRD bisa mengganjal program-program kepala daerah dimaksud.

Fraksi parpol bahkan bisa menggalang kekuatan politik di DPRD untuk mengajukan pemakzulan kepala daerah ke Mahkamah Agung (MA). Alasan bisa dicari. Apalagi di ranah politik.

Jika MA menyetujui, maka Presiden/Menteri Dalam Negeri bisa memberhentikan kepala daerah tersebut. Hal ini diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Sesuai UU No 23 Tahun 2014 pula, kepala daerah, dalam hal ini gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Sebab itu, kebijakan-kebijakan gubernur harus selaras dengan kebijakan pemerintah pusat. Tak perduli apa pun partainya.

Sebab itu, salah satu tujuan retreat tersebut adalah memperkenalkan visi-misi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kepada para kepala daerah.

Presiden memang tidak bisa memecat gubernur secara langsung. Namun Presiden bisa memberhentikan gubernur bilamana sudah diputuskan MA untuk diberhentikan karena sebab-sebab tertentu.

Mestinya semua pihak lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Semua pihak mestinya juga lebih mengedepankan jiwa kenegarawanan.

Ketika negara sudah memanggil, maka semua pihak mestinya berusaha memenuhinya. Parpol pun mestinya demikian. Ketika negara membutuhkan kader parpol, mestinya parpol tersebut memberikannya untuk negara. Jangan justru dilarang-larang untuk berbuat bagi negara.

Kepentingan parpol semestinya juga selaras dengan kepentingan negara, sehingga tidak ada parpol yang berbenturan dengan negara.

Retreat memang tak diatur dalam undang-undang. Tapi tidak diatur dalam undang-undang tak berarti tak boleh. Bahkan bila retreat itu sudah berjalan beberapa kali, maka bisa saja menjadi konvensi atau aturan tak tertulis.

Kesetiaanku kepada partai berakhir, ketika kesetiaanku kepada negara dimulai. Demikianlah mestinya prinsip kepala daerah dari parpol.***

Tulisan menjadi tanggungjawab penulis, semua isi tulisan bukanlah mewakili pandangan redaksi tingkap.co

Pewarta:
Penyunting: Alfen Hoesin
©tingkap.co 2025