Revolusi Siloengkang 1927

Opini - Rabu, 1 Januari 2025

241231202335-revol.jpg

istimewa

Perempuan dan anak-anak dikumpulkan di pasar Silungkang

Oleh : Alfen Hoesin 

Tak sepatah katapun terucap dari mulut kakekku, Yusuf Sampono Kayo di depan majelis hakim landraad (pengadilan) kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

Ketua majelis hakim pagi itu, mengetuk palu menjatuhkan vonis hukumam mati atas perbuatannya dan 2 orang pejuang lainnya.

Beliau hanya tertunduk dan dengan bibir tak hentinya bergerak, berdzikir. Begitulah dituturkan nenekku Siti Maryam, saat beliau mulai sakit-sakitan pada tahun 1978.

Selama persidangan, kakek selalu memilih untuk bungkam, dan tidak melakukan nota pembelaan atau menyampaikan secarik pledoi sekalipun. Beliau hanya pasrah dan menerima putusan dengan keimanan.

Almarhumah ibu yang lahir pada tahun 1920, saat itu baru berusia 7 tahun dan belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seperti yang dituturkan kepada saya, ibu selalu ikut setiap nenek mengunjungi kakek di penjara Sawahlunto.

Singkat cerita, kakek dan 2 pejuang lainnya, Kamaruddin alias Mangguluang dan Badaruddin tak lama setelah putusan hukuman mati dijatuhkan atau inkracht, mereka bertiga langsung dieksekusi diseret ke tiang gantungan pada 24 Maret 1927.

Peranan besar Yusuf, Badaruddin dan Mangguluanglah yang menghantarkan mereka sebagai syuhada meregang nyawa di tiang gantungan.

Sebagai saudagar terkemuka saat itu, Yusuf menginfaqkan sebagian hartanya di jalan Jihad Fii Sabilillah. 

Ia membiayai dan menggerakkan para pejuang untuk menyerang beberapa fasilitas Belanda, dan para pejabat kolonial yang sedang pesta-pora, di Kota Sawahlunto, pada malam tahun baru 1927, atau setahun sebelum Sumpah Pemuda.

Yusuf yang tokoh Syarikat Islam mempercayakan penuh kepada Mangguluang dan Badaruddin untuk melaksanakan konsolidasi pasukan yang terdiri dari pemuda Syarikat Islam, dan unsur-unsur pergerakan lainnya.

Perencanaan aksi sudah dimulai sejak bulan Nopember 1926. Untuk rencana itu, Yusuf juga membeli 160 pucuk pistol dari pedagang gelap senjata berkebangsaan Eropa.

Diinformasikan transaksi pembelian senjata dan beberapa granat ini bisa mulus berkat rasa simpati dan keberpihakan salah seorang tentara Belanda, Sersan Pontoh. Ia berasal dari Minahasa. Tak ada berita tentang nasib Pontoh  yang juga ditangkap Belanda hingga pasca pertempuran moderen itu usai.

Berawal tanggal 31 Desember 1926, kakek memotong seekor kerbau untuk dimasak dan dibagikan kepada masyarakat, khususnya para pejuang yang ingin berpartisipasi dalam rencana serangan di malam pergantian tahun itu.

Para pejuang berdatangan dari daerah sekitarnya. Tercatat ada 18 nagari di sekitar Silungkang yang turut serta dalam rencana penyerangan malam itu. Ratusan pejuang berkumpul disekitar "Rumah Tinggi", rumah kediaman Yusuf Sampono Kayo.

Kendati pertempuran itu penuh heroisme, para tokoh-tokoh pergerakan di pulau Jawa menilai pertempuran berdarah itu gagal karena perencanaan kurang matang, dan juga karena adanya kebocoran informasi.

Revolusi berdarah terhadap kesewenang-wenangan penjajah Belanda yang mengorbankan banyak syuhada itu, dikenang sebagai Perang Rakyat Silungkang 1927.

Seluruh pejuang yang terlibat pada pertempuran itu mendapatkan penghormatan dari negara berupa Dana Pensiun Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia setiap bulannya.


Jenazah syuhada dimakamkan secara masal (ist)

Pasca kejadian, ratusan pejuang diperintahkan untuk menyerahkan diri dengan cara biadab. Tentara kolonial mengumpulkan para perempuan dan anak-anak di sebuah los, di pasar Silungkang, agar para pejuang menyerahkan diri. Perbuatan penyanderaan kaum perempuan dan anak-anak ini, sejatinya termasuk kejahatan perang.

Dengan kesadaran penuh cinta tanah air, para pejuang sebagian menyerahkan diri dan sejumlah besar ditangkap.

Karena dianggap berbahaya, ratusan pejuang, tanpa diadili, dibawa  dan disebar ke beberapa penjara se-nusantara.

Diantaranya penjara Sawahlunto, Muaro Padang, Glodok Jakarta, Sukamiskin Bandung, Ambarawa, Kalisosok Surabaya, Sumenep dan bahkan ada yang diasingkan ke ufuk Timur nusantara, di Tanah Merah Bouven Digoel, Merauke, Papua (sekarang Kabupaten Bouven Digul).

Sepupu  ibu, Buyung Sutan Sinaro diasingkan ke Bouven Digoel bersama-sama beberapa pejuang lainnya, termasuk salah seorang perempuan pejuang bernama Salamah.

Buyung Sutan Sinaro serta pejuang Silungkang lainnya saat diasingkan di Bouven Digoel sempat membuatkan rumah kayu untuk Bung Hatta.

Selain sebagai tempat tinggal Bung Hatta, rumah itu juga berfungsi sebagai perpustakaan pribadi, sehingga beberapa peti buku-buku Bung Hatta dapat diselamatkan.

Sedangkan Salamah dengan setia memasakkan masakan untuk makan Bung Hatta selama dipengasingan. Bung Hatta diasingkan ke Bouven Digoel pada tahun 1934.

Buyung Sutan Sinaro ketika serdadu Jepang masuk ke Bouven Digoel pada tahun 1942, ikut melarikan diri bersama Belanda ke Darwin, Northern Territory, Australia.

Buyung yang saat itu adalah seorang duda, terpikat dengan perempuan setempat dan menikahinya.

Setelah Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945, istri kedua Buyung bernama Merry Hamilton dan seorang anak laki-laki bernama Denis, diboyong ke tanah air, dan bermukim di Silungkang.

Buyung wafat pada tahun 1978 di Muaro Kalaban, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Beberapa tahun kemudian pada tahun 1989, sang istri Merry Hamilton menyusul kembali ke haribaan Ilahi.

Hubungan kuat emosional Bung Hatta dengan para pejuang Silungkang ini berlanjut hingga Indonesia merdeka.

Pada tahun 1947 Sang Proklamator meresmikan Tugu Perlawanan Rakyat Silungkang yang terletak di sudut pasar Silungkang. 


"Rumah Tinggi" dikepung tentara Belanda (ist)

Bangunan tugu itu masih berdiri kokoh hingga saat ini, tak jauh dari “Rumah Tinggi”, milik Yusuf Sampono Kayo tempat para pejuang dan tokoh-tokoh pergerakan biasanya berkumpul saat itu. 

Kedekatan Bung Hatta dengan para pejuang Silungkang inilah akhirnya listrik dan telepon dipasang di Silungkang, di awal-awal kemerdekaan.

Framing Media Belanda

Majalah TIME edisi 24 Januari 1927 menyebut revolusi yang dilakukan ratusan orang di Silungkang dan sekitarnya (malam tahun baru 1927), dilakukan Islam nasionalis, bukan oleh komunis.  

Stigma pemberontakan komunis itu, menurut banyak kalangan Islam nasionalis disematkan sebagai framing pers Belanda atas perlawanan para pejuang, dan tentu saja juga untuk kepentingan Kerajaan Belanda dan sang Ratu Wilhelmina.

Majalah TIME (https://time.com/archive/6777588/netherlands-blood-of-islam/)

Mengutip majalah TIME edisi 24 Januari 1927 yang mengeritik pers Belanda, dalam berita,  “Kerusuhan Islam-Nasionalis, yang baru-baru ini diredam di Jawa (TIME, 22 November) meletus lagi minggu lalu di Sumatera. Pasukan Belanda dari pasukan Hindia Belanda menangkap 550 perusuh di Siloengkang, menembak 100 orang. Seperti biasa pers Belanda, dengan bodoh atau jahat, menyebut para perusuh itu sebagai "Komunis”.

(The Islamic nationalist riots, recently suppressed in Java (TIME, Nov.22) burst out again last week in Sumatra. Dutch troops of the Netherlandic East Indies forces arrested 550 rioters at Siloengkang, shot 100. As usual the Dutch press, ignorantly or maliciously, referred to the malcontens as “Communists”.)

Pers lokal saat itu, Sinar Soematra juga melakukan framing yang sama.

Sinar Soematra adalah surat kabar mingguan berbahasa Melayu yang terbit sejak tahun 1905, dengan alamat redaksinya di kampung Pondok, sebuah kawasan Pecinan, di kota Padang. 

Surat Kabar satu-satunya berbahasa Melayu yang dikenal memang pro kolonial itu, pemiliknya adalah warga Tionghoa.

Aksi Robinhood

Beberapa tahun sebelum Perang Rakyat Silungkang pecah, para tokoh pergerakan dan kaum adat di Silungkang sudah mulai santer membicarakan seputar kekejaman dan ketidakadilan penjajahan Belanda, di ranah Minangkabau.

Situasi ketegangan antara kolonial dengan masyarakat Silungkang saat itu memicu pimpinan Syarikat Islam di Silungkang, Sulaiman Labay melakukan aksi heroik bak Robinhood.


Penangkapan pejuang di stasiun kereta api Silungkang (ist)

Suatu siang di tahun 1918, kereta api yang membawa beberapa gerbong berisi beras milik kolonial yang melintas dari arah kota Solok menuju Sawahlunto dihadang para pejuang. Sulaiman Labay dan para pemuda Syarikat Islam menurunkan 2 gerbong beras milik Belanda.

Beras tersebut dibagikan kepada masyarakat Silungkang yang sedang kelaparan karena kelangkaan beras. Sejak saat itu, Syarikat Islam mendapat tempat di hati masyarakat. Sulaiman Labay akhirnya ditangkap dan dibawa ke Batavia untuk dijebloskan ke penjara Glodok.

Ketika Jepang menduduki Batavia pada tahun 1942 , Sulaiman Labay menolak untuk dibebaskan dari tahanan. Menurutnya, Jepang sama saja dengan Belanda. Sama-sama bangsa asing yang menjajah dan menginjak-nginjak harkat dan martabat kemanusiaan.

Akibat rentetan perlawanan oleh para pejuang terhadap eksistensi Belanda di Kota Sawahlunto, suplai batu bara ke Eropa sempat terganggu.

Kondisi darurat ini membuat beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Belgia dan Jerman kesulitan karena saat itu di Eropa sedang musim dingin.

Peristiwa penting ini memicu dan menginspirasi perlawanan terhadap kolonial di berbagai daerah di Pulau Sumatera.

Semoga para syuhada yang telah menyumbangkan seluruh jiwa raga untuk bumi pertiwi, mendapatkan kebahagiaan abadi di syurga-Nya Allah Azzawajalla.

Kita sebagai generasi penerus mewarisi api revolusi itu, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan sejatinya.

Penulis adalah cucu dari Yusuf Sampono Kayo

Pewarta: Alfen Hoesin
Penyunting: Ghea Reformita
©tingkap.co 2025